Oleh : H. Ikhsan Lubis, SH,SpN., Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I)

 

Kedudukan Debitur yang dalam posisi lemah (peminjam) harus mendapatkan perlindungan hukum yang cukup dan berkeadilan.

Ini mengakibatkan hilangnya hak pemberi fidusia untuk membela diri dan menjual objek dengan harga wajar.

 

  Mahkamah Konstitusi (MK) melalui  putusannya  bernomor : 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 telah melakukan Judicial Review terkait dengan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia, khususnya norma hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 15 Ayat (2), Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 15 Ayat (2) dan pada prinsipnya putusan tersebut merupakan salah satu cara untuk menciptakan norma hukum yang baru dengan meniadakan norma hukum yang telah diatur sebelumnya.   Putusan telah menciptakan norma hukum yang baru dengan memberikan ketentuan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia harus memperhatikan syarat khusus, yaitu Debitur mengakui adanya wanprestasi dan/atau adanya kesepakatan diantara Debitur dan Kreditur tentang adanya cidera janji atau Debitur secara sukarela menyerahkan obyek jaminan fidusia kepada Kreditur.   Dengan adanya putusan MK telah memberikan penafsiran yang berbeda terkait dengan sertifikat jaminan fidusia yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan MK berpendapat titel parate eksekusi tidak lagi otomatis memiliki kekuatan eksekutorial.   Inti pokok putusan MK terkaiit dengan norma hukum  tersebut adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat :
  1. Frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan 
yang berkekuatan hukum tetap”  sepanjang :
  1. Tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi),
  2. Debitur keberatanmenyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, 
  3. Segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat 
Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan  eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” .  
  1. Frasa “cidera janji”  
  2. “adanya cidera janji tidak ditentukan
secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara Kreditur dengan Debitur, atau  
  1. Atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
  Hasil Jucial Review sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (final and binding)  yang berlaku secara umum (erga omnes)  tanpa ada upaya hukum yang dapat membatalkannya.   Meskipun berdasarkan ketentuan Pasal 15 Ayat (2),  Ayat (3) dan penjelasan Ayat (2) telah memberikan kewenangan kepada Penerima  Fidusia  titel eksekutorial (Parate Eksekusi), akan tetapi  dalam pelaksanaan eksekusinya harus terlebih dahulu dibuktikan apakah Pemberi Fidusia telah melakukan perbuatan wanprestasi (Cidera Janji, Ingkar Janji) terkait dengan perjanjian pokok berupa Perjanjian Kredit/Pembiayaan (hutang piutang).     Untuk membuktikan adanya pebuatan Cidera Janji dalam  perjanjian pokok, MK memutuskan :  
  1. “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara Kreditur dengan Debitur, atau
  2. Atas dasar upaya hukum yang menentukan telah 
terjadinya cidera janji”.     MK melihat prinsip ketidak seimbangan posisi  diantara para pihak  terikat dalam perjanjian yang memberikan hak kepada salah satu pihak untuk mengajukan keberatan dengan alasan hukum tertentu (Exceptio Adimplenti non contractus)  yang antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 1328 dan Pasal 1335 KUHPerdata.   Pasca putusan MK  adanya titel eksekutorial (Parate Eksekusi) dalam Sertifikat Jaminan Fidusia telah mengalami pergeseran nilai  dalam pelaksanaan eksekusinya, dan karenanya Kreditur (Penerima Fidusia) tidak dapat lagi secara langsung menjual objek jaminan fidusia secara sepihak.   Majelis Hakim MK juga melihat tata cara penarikan barang jaminan dengan pertimbangan hukumnya : “Selain sering menimbulkan adanya paksaan dan kekerasan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur.  Hal ini jelas ada persoalan inkonstitusional Norma dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia".   Problema yuridis terkait dengan kontruksi yuridis ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UUJF dianggap tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi Debitur dan dianggap tidak adil karena hanya menjaga kepentingan Kreditur semata, terutama titel eksekutorial (Parate Eksekusi) yang sewaktu-waktu akan diberlakukan apabila Debitur dianggap telah melakukan perbuatan Wanprestasi dan/atau Cidera Janji.   Majelis Hakim MK juga dalam pertimbangan hukumnya berpendapat : Norma Pasal 15 ayat (2), (3) UU Jaminan Fidusia tidak ada kepastian hukum baik berkenaan dengan tata cara eksekusi ataupun waktu kapan Pemberi Fidusia (Debitur) dinyatakan “Cidera Janji” (Wanprestasi) dan hilangnya kesempatan Debitur mendapat penjualan objek Jaminan Fidusia dengan harga yang wajar.     Putusan MK tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kewenangan dari Kreditur selaku Penerima Fidusia dengan hak kebendaannya yang senantiasa melekat pada obyek Jaminan Fidusia,  sepanjang  dapat dibuktikan adanya perbuatan “cidera janji", maka segala prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan  eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.   Rumusan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 terkait dengan Frasa "Cidera Janji" tidak dapat dilepaskan dengan asas kebebasan berkontrak  (1338 KUH Perdata) sepanjang kesepakatan yang diperbuat oleh kedua belah pihak  memenuhi persyaratan dalam suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata), terutama dengan memperhatikan asas Keseimbangan,Kesetaraan dan Keadilan.   Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim MK berpendapat : “Tindakan sepihak berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang dan kurang manusiawi baik fisik maupun psikis terhadap debitor yang acapkali mengesampingkan hak-hak pemberi fidusia, MK mendeteksi inkonstitusionalitas dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999. Frasa cedera janji tidak menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan pemberi fidusia mengingkari kesepakatan dengan penerima fidusia".   Kedudukan Debitur yang dalam posisi lemah (peminjam) harus mendapatkan perlindungan hukum yang cukup dan berkeadilan.   Majelis Hakim MK juga melihat keadaan dan  posisi Debitur dengan memberikan pertimbangan hukum : “Ini mengakibatkan hilangnya hak pemberi fidusia untuk membela diri dan menjual objek dengan harga wajar,”



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas