bunga kana untuk notaris

Berita Terkait


    Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /home/mediano1/public_html/modules/news/dspNewsRelated.php on line 0

Kongres Ikatan Notaris Indonesia (INI) 16 Juli 2012 di Jakarta menghasilkan fakta baru : 2 pihak saling menyatakan telah melakukan pemilihan atau mengambil keputusan menyelesaikan kongres itu dengan menghasilkan 2 kepengurusan. Pihak pertama menyatakan, melalui pengeras suara di kongres, telah menyelesaikan kongres dengan memutuskan bahwa organisasi INI selama 1 (satu) tahun, terhitung 16 Juli 2012 - 16 Juli 2013 dijalankan secara Kolektif Kolegial.

Kolektif Kolegial ini untuk selanjutnya disebut Pimpinan Kolektif Kolegial (atau Pimpinan Kolegial) Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PK PP INI) atau banyak para notaris lebih mudah menyebut dengan PKK saja. Pimpinan kolektif ini adalah seluruh para calon ketua umum yang ada, yang belakangan akhirnya tersisa 5 orang, yang terdiri atas calon-calon Adrian Djuwaini, Arry Supratno, Erni Rohaini, Habib Adjie, dan Pieter Latumeten, minus Sri Rachma Chandrawati dan M.J. Widijatmoko. Widijatmoko menyatakan mengundurkan diri. Sementara itu, pihak kedua menyatakan, telah melakukan pemilihan di dalam kongres itu, setelah melalui pemungutan suara dengan peserta, yang tersisa sekitar 900 lebih. Hasilnya adalah memilih Sri Rachma Chandrawati (SRC).

Pengurus PKK, menurut salah seorang ketuanya yaitu Habib Adjie, mendapatkan mandat dari Presidium untuk menyelenggarakan kepengurusan INI selama setahun ke depan, dengan program yang sudah dibuat. Dalam konsep kepengurusan kolektif ini, semua ketuanya berkedudukan sama dalam melakukan tindakan organisasi melalui persetujuan bersama. Sedangkan pengurus INI di bawah Sri Rachma Chandrawati juga sudah menyusun kepengurusan beserta program-programnya.

Tidak bisa dipungkiri lagi kenyataannya, organisasi notaris ini telah terbelah dua, yaitu PKK , dan satu lagi PP INI SRC. Sebab kedua pihak saling menyatakan keabsahan lembaga yang diputuskannya, dan keduanya saling melemahkan dasar hukum lembaga yang lain. Kini keduanya sudah membuat program-program kerja untuk memikat anggotanya dengan melakukan pelatihan dan ujian kode etik dengan dasar hukum masing-masing.
Namun kemarin (27/8) salah satu calon ketua umum M.J. Widijatmoko yang semula mundur dari PKK "melemparkan" sinyal ke media sosial facebook adanya pendapat yang lain untuk mengatasi kebuntuan ini yaitu "UNIFIKASI ORGANISASI NOTARIS" dengan menyelenggarakan "KONGRES NOTARIS INDONESIA" di bawah bendera unifikasi organisasi notaris. Apa pula gerangan yang akan terjadi? Apakah Widijatmoko bercanda?
Lantas bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimanakah nanti masalah legitimasi kedua pihak yang sama-sama memiliki dasar berpijak menurut aturan yang ada? Bagaimana pula legitimasi program-program yang akan dijalankan, misalnya penyelenggaraan ujian kode etik untuk calon notaris?
Dalam kasus perseteruan notaris ini kami mewawancarai berbagai narasumber yang bersedia diwawancarai, yaitu Habib Adjie, Sri Rachma Chandrawati, Isyana W. Sadjarwo, Azis Saleman, Hapendi Harahap, Syafran Sofyan, Maferdy Yulius, Firdhonal dan mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir Manan yang dulu juga pernah menjadi pejabat tinggi di Departemen Kehakiman RI. Tulisan masing-masing akan kami turunkan secara berurutan mulai hari ini.

Saling Klaim Legitimasi

Seperti kita ketahui kongres lanjutan para notaris di Jakarta pada 16 Juli 2012 tambah kisruh dan membingungkan dengan adanya dua kubu kepengurusan. Kejadian ini merupakan sambungan kisah memilukan dari Kongres INI XXI, Januari 2012 di Yogyakarta di mana kubu pendukung calon ketua umum terpecah menjadi 2, kubu pertama adalah kubu Sri Rachma Chandrawati (SRC), sedangkan kubu kedua adalah semua pendukung calon ketua umum yang bukan SRC.
Bersamaan dengan ini kemudian Presidium menskors kongres selama 6 bulan, dan dinyatakan dilanjutkan di Jakarta. Kongres ini ditunda di tengah kemelut antar pihak calon ketua umum didukung pendukung masing-masing. Satu pihak mempermasalahkan adanya dugaan money politic, pihak lain mempermasalahkan adanya dugaan rekayasa untuk menggagalkan kongres dan pemilihan ketua umum itu sendiri untuk kepentingan tertentu.
Namun sayang yang dikhawatirkan pihak kedua itu seperti mendekati kenyataan : waktu 6 bulan penundaan ternyata justru menghasilkan perpecahan yang lebih parah di kalangan notaris. Akibatnya, saling tuduh, curiga dan lempar isu bahkan saling maki di media internet pun terjadi antar notaris : "para pejabat umum" sandaran rakyat dalam meminta legitimasi hukum.
Ada yang unik dalam perseteruan ini. Lingkungan notaris merupakan lingkungan yang guyub, mengarah ke hubungan kekeluargaan, namun karena adanya kepentingan-kepentingan sesaat akhirnya terjadi perseteruan. Akibatnya kalangan notaris senior akhirnya enggan berkomentar karena masing-masing mengenal satu-sama lain dengan baik. Ada pula notaris senior yang menghindar menjawab pertanyaan untuk alasan yang tidak jelas sehingga pesan singkat, email atau permintaan wawancara pun diabaikan, padahal posisinya di dalam organisasi adalah pihak yang bertanggungjawab untuk menjawab agar masalah menjadi terang-benderang.
Seorang notaris senior yang mengenal dengan baik semua elit dan calon ketua umum yang bersaing malah enggan berkomentar dan sempat berbicara kepada notaris senior lainnya yang terlibat dalam penentuan kongres dengan mengatakan, " Alaaah..., kamu sama saja dengan yang lain. Munafik..." Jawaban notaris senior ini jadi makin membingungkan dan menambah keraguan tentang kebenaran dan kepura-puraan yang terjadi.
Salah satu kunci penting yang menentukan dasar kebenaran dalam perdebatan para pihak adalah masalah situasi di dalam ruang kongres lanjutan saat ditinggal Presidium saat skors untuk berapat di belakang panggung. Saat itu peserta yang sudah sejak pagi sudah diminta menunggu skors oleh Presidium makin gerah setelah siang harinya. Kegiatan peserta kongres untuk menghilangkan kebosanan, adalah mengobrol, foto bersama, belanja di halaman kongres. Tak bisa dielakkan, semakin siang kongres semakin menegangkan seiring dengan makin lamanya skors, baik itu di ruang sidang Presidium maupun di ruangan kongres sendiri.
Akhirnya sebagian peserta yang tidak sabar mulai naik ke panggung tempat duduk Presidium menyampaikan berbagai aspirasinya. Situasi ini ternyata tidak bisa diatasi panitia atau pihak keamanan. Ketika Presidium selesai rapat dan mau naik panggung mereka bertahan dan akhirnya mau juga turun. Namun ketika mereka sudah mau turun, ternyata malah hanya 5 orang anggota Presidium yang naik ke panggung.
Situasi inilah yang dipergunakan Presidium untuk menyimpulkan bahwa kongres tidak memungkinkan lagi untuk dilanjutkan dan segera ditutup dengan keputusannya yang masih menyisakan perdebatan itu. Situasi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kongres inilah sudah tentu bisa diuji secara akademis atau dengan apa pun secara fair, termasuk juga alasan pihak SRC yang menyatakan bahwa keributan di kongres masih dalam tahap wajar dan tidak perlu ditutup sambil mengilustrasikan sidang-sidang di DPR. Di sinilah kunci perdebatan itu.
Jadi yang mana yang benar? "Don't judge a book by Its cover." atau menurut bahasa kita, "Don't look at the book from its cover." Dalamnya laut bisa diduga, dalam hati siapa tahu...

Terbelahnya dukungan dalam pemilihan calon ketua umum di Yogyakarta berlanjut ke Jakarta di kongres berjudul "Kongres Lanjutan" dengan proses yang alot melalui interupsi dan skorsing berkali-kali dan menjemukan. Akhirnya pertikaian ini menghasilkan nego berupa 4 opsi. Menurut Habib Adjie, salah seorang calon ketua umum, opsi 1 dari AD (Adrian Djuwaini) dan AS (Arry Supratno), agar semua caketum mundur, dan masa jabatan PP INI demisioner diperpanjang satu tahun. Opsi 2 dari SRC agar tetap melakukan pemilihan seperti biasa. Opsi 3 tetap dilakukan pemilihan tapi dengan mendiskualifikasi dulu peserta dan salah seorang caketum yang melakukan money politic sesuai laporan Tim Pengawas. Opsi 4 dari HA (Habib Adjie), (PL) Pieter Latumeten, (Moko) Widijatmoko dan (ER) Erni Rohaini berupa PKK, jika dan hanya jika semua opsi 1, 2 dan 3 tidak dapat dilakukan.

Sementara itu, Hapendi Harahap, salah seorang anggota Presidium, menyatakan bahwa selama berjam-jam rapat interen presidium berdebat tentang siapa yang berwenang memutuskan untuk mendiskualifikasi pihak yang direkomendasikan tim pengawas, apakah oleh anggota presidium atau melalui pleno kongres dengan cara aklamasi atau voting. Sehingga akhirnya rapat Presidium menyetujui 3 opsi untuk disampaikan ke rapat pleno. Opsi pertama melakukan pemilihan ketua umum dan dewan kehormatan sekarang, tanpa memutuskan diskualifikasi. Opsi kedua, melakukan pemilihan dengan mediskualifikasi 954 anggota dan 1 caketum. Opsi ketiga, yaitu menutup kongres dengan putusan Pimpinan INI Kolektif Kolegial.
Setelah ditandatangani surat opsi tersebut oleh 23 anggota presidium (kurang 2), lanjut Hapendi, anggota presidium keluar ruangan menuju mimbar/meja Presidium, namun ternyata di luar sudah banyak peserta kongres, yang melakukan interupsi dan orasi-orasi. Sehingga sebagian besar anggota presidium memilih meninggalkan arena kongres, tanpa pamit dan hanya tertinggal 5 anggota Presidium di arena kongres dan duduk di mimbar presidium.
Peserta kongres yang ditinggalkan anggota presidium sekitar 19 orang itu terkesima karena tidak mendapatkan solusi. Sehingga salah seorang anggota presidium Azis Saleman akhirnya mengaku memimpin sidang dengan harapan sidang menghasilkan solusi. Mereka dengan anggota peserta sidang yang hadir kemudian mengadakan pemilihan dan hasilnya Sri Rachma Chandrawati terpilih sebagai Ketua Umum INI yang baru.

Hapendi mempersilakan semua notaris untuk mengingat kembali momen-momen saat kongres berlangsung, dalam video di youtube dengan judul Wajah Notaris Indonesia Part 1-3, yang ternyata tidak ada bentrok fisik seperti yang dibayangkan. Dalam video yang telah beredar luas di media sosial tersebut, tidak ada perkelahian yang mengakibatkan korban luka, sehingga bisa disebut membahayakan jiwa peserta. Seluruh peserta yang hadir di kongres keluar ruang sidang dengan "utuh" tanpa kurang suatu apa pun. "Bagaimana bisa dikatakan, tidak mungkin lagi mengadakan pemilihan? Wong, kongresnya biasa saja," katanya sambil tertawa. Hapendi menyatakan kekecewaannya karena kongres direkayasa sedemikian rupa, antara lain dengan mengulur waktu dan mematikan mikrofon untuk menghindari voting.

Terpilihnya SRC menjadi Ketua Umum PP INI yang baru, tentu tidak mendapat "restu" dari para anggota presidium yang meninggalkan arena kongres di Gedung Balai Sudirman Jakarta Selatan itu. Mereka, para anggota presidium memutuskan menyelenggarakan kepengurusan INI selama satu tahun ke depan, terhitung mulai 16 Juli 2012 hingga 16 Juli 2013 secara kolektif kolegial atau Pimpinan Kolektif Kolegial (PKK). Salah seorang pimpinan PKK, Habib Adjie, mengatakan, putusan atas PKK, merupakan hasil keputusan Presidium berdasarkan kewenangan atributif yang dimiliki Presidium berdasarkan AD/ ART INI. Presidium kongres merupakan representasi anggota atau peserta kongres yang diberikan kewenangan secara atributif tersebut. Berdasarkan kewenangan tersebut, menurut Habib, Presidium yang melihat situasi dan kondisi Kongres XXI INI Lanjutan, memandang tidak mungkin lagi melakukan pemilihan Ketua Umum INI.

Dalam putusan ini, PKK yang merupakan alat perlengkapan perkumpulan di tingkat pusat, menjalankan kepengurusan yang selama ini dilakukan Pengurus Pusat INI. Nanti pada akhir masa tugasnya, PKK bertanggungjawab kepada anggota pada kongres atau Kongres Luar Biasa. Wewenang dan tugas yang dimiliki PKK, seperti wewenang Pengurus Pusat INI di dalam AD/ ART. Dalam menjalankan kewenangan secara kolektif itu, menurut Habib, kelima pimpinan PK berkedudukan sama atau setara, tidak ada ketua atau anggota. Dalam melakukan surat-menyurat atau tindakan lainnya dilakukan secara bersama. Namun, dalam keadaan tertentu, kebijakan organisasi ini dilakukan oleh paling sedikit oleh 2 orang saja dengan persetujuan pimpinan lainnya.

Dalam kepemimpinan ini, PK telah menggalang dukungan dan meyakinkan para anggota atas keberadaannya yang sesuai dengan AD/ART INI. Mereka juga mengimbau kepada seluruh Pengurus Wilayah dan Daerah INI di seluruh Indonesia untuk mendukung jalannya organisasi di bawah PKK. Termasuk juga mendukung penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) dan penyempurnaan AD/ART serta penyelenggaraan ujian kode etik dan SABH.

Sementara itu, Hapendi Harahap, Sekretaris Umum PP INI SRC menilai, PK tidak ada dalam AD/ART. Dalam kongres, menurut Hapendi, hanya dikenal keputusan pleno kongres, yang diputus dalam sidang terbuka dalam kongres. Sehingga tidak ada keputusan presidium, kecuali keputusan untuk kelancaran persidangan di dalam kongres. Selain itu, Hapendi menambahkan, jika SK Presidium sah menurut AD/ART INI sebagai Pimpinan Kolektip Kolegial adalah semua calon ketua umum. Sementara saat ini hanya tersisa 5 dari 7 caketum, sehingga SK Presidium tersebut cacat obyek dan merupakan suatu keputusan yang batal demi hukum. Bila masih ada perbuatan hukum yang dilakukan bukan secara bersama-sama oleh ketujuh caketum, dapat dikelompokkan sebagai perbuatan melawan hukum.

Ia mengingatkan, dalam pasal 11 Ayat (1) huruf b Anggaran Dasar INI disebutkan, Pengurus Pusat merupakan pimpinan tertinggi perkumpulan, yang terdiri dari seorang Ketua Umum, beberapa orang Ketua, seorang Sekretaris Umum, dan seterusnya. Selanjutnya dalam huruf c, disebutkan bahwa, Ketua Umum dan Sekretaris Umum mewakili pengurus pusat dan karenanya mewakili perkumpulan dan seterusnya. Dengan demikian, Pimpinan Kolektif Kolegial tidak dapat bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia, dan jika itu dilakukan, maka perbuatan hukum tersebut dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.

Kenyataan ini dapat meresahkan dan membingungkan para calon notaris yang menunggu-nunggu ujian kode etik, meski kedua kubu telah mengklaim memiliki legitimasi dalam menyelenggarakan ujian kode etik dan SABH ini. Tim PKK telah penyelenggaraan ujian kode etik notaris pada 31 Agustus 2012 dan 1 September 2012. Sementara PP INI SRC akan menggelar pembekalan ujian kode etik pada 18-19 September 2012.


Ujian Kode Etik Notaris PKK INI dan PP INI SRC

Dua kubu kepengurusan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) telah memiliki program masing-masing dan siap melaksanakannya, sambil terus menggalang dukungan dan mensosialisasikannya. Salah satunya, melaksanakan ujian kode etik notaris (UKEN). Tim PKK menggelar ujian kode etik notaris pada 31 Agustus dan 1 September 2012 dengan sukses di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur. Sementara itu PP INI SRC baru akan melaksanakan UKEN pada 18-19 September 2012. Kedua kubu mengklaim sebagai penyelenggara UKEN yang sah dan resmi. Sebaliknya masing-masing menyatakan tidak bertanggungjawab atas ujian kode etik yang diselenggarakan di luar mereka. Situasi ini pun makin mempertajam perseteruan notaris ini.

Dalam akun resmi PKK disebutkan, pelaksanaan UKEN oleh PKK merupakan UKEN yng sah dan resmi sebagai salah satu syarat untuk diangkat sebagai notaris dan PKK menyatakan tidak bertanggung jawab atas apapun dan kepada siapapun jika ada calon notaris/ ALB yang ikut UKEN yang tidak dilaksanakan oleh PKK. Kepengurusan PKK juga ditegaskan sebagai kepengurusan INI yang sah dan legal. PKK menjalankan amanat atau keputusan presidium dan presidium merupakan representasi anggota. Selanjutnya semua yang dilakukan oleh PKK akan dipertanggungjawabkan pada anggota pada KLB INI tahun 2013. Firdhonal, S.H. selaku pelaksana UKEN menyatakan bahwa penyelenggaraan UKEN PKK telah diakui pemerintah dengan datangnya pejabat Kementerian Hukum dan HAM.
Pimpinan Kolegial PP INI yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Presidium Kongres XXI Lanjutan INI tanggal 16 Juli 2012 untuk melaksanakan kepengurusan Perkumpulan sesuai AD dan ART Perkumpulan dan dalam waktu 1 tahun menyelenggarakan Rapat Pleno dan mempersiapkan Kongres Luar Biasa INI. Ujian kodetik menurut AD/ART adalah kewenangan PP, yang sejak pertengahan tahun 1990-an didelegasikan ke enam pengurus wilayah (pengwil) untuk efesiensi biaya dan waktu.

Sementara PP INI SRC, yang akan menggelar UKEN pada 18-19 September 2012, menurut Hapendi, telah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI Amir Syamsudin, dengan tembusan Majelis Pengawas Pengurus PP INI, Pengwil/Pengda dan seluruh anggota INI, terkait pelaksanaan UKEN di luar pengetahuan dan tanggung jawab Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI). Dalam surat tersebut, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) periode 2012-2015 menyampaikan bahwa berdasarkan pasal 39 ayat (4) huruf j Anggaran Rumah Tangga (hasil rapat di Lombok) atau pasal 21 ayat 7 huruf j Anggaran Rumah Tangga (Palembang), yang berwenang menyelenggarakan Ujian Kode Etik adalah Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, bukan Pengurus Wilayah INI.
Selanjutnya berdasarkan pasal 11 Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia (AD-INI), yang berwenang mewakili pengurus pusat/mewakili perkumpulan di dalam dan di luar pengadilan serta yang bertanggung jawab terhadap jalannya perkumpulan adalah KETUA UMUM (dalam hal berhalangan oleh 2 orang KETUA) dan SEKRETARIS UMUM. Sehingga bila ada yang mengatasnamakan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) dengan sebutan jabatan lain adalah di luar ketentuan AD/ ART Notaris Indonesia. Karena itu, semua perbuatan hukum yang dilakukan di luar pasal 11 ayat (1) huruf C Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia (AD-INI) di luar tanggung jawab perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI). Berdasarkan pasal 18 jo pasal 19 Anggaran Rumah Tangga INI (hasil Lombok) atau pasal 12 ayat (9), (10), dan (16) Angaran Rumah Tangga (hasil Palembang).
Kewenangan Presidium diatur secara limitatif, yakni hanya mengatur jalannya persidangan kongres serta melantik Ketua Umum dan Dewan Kehormatan Pusat terpilih. Karena itu, menurut ketentuan AD/ART Ikatan Notaris Indonesia, Presidium tidak mempunyai produk hukum berupa Surat Keputusan Presidium. Produk Presidium adalah berupa “Berita Acara Rapat Presidium”. Sehingga bila ada produk semacam Surat Keputusan Presidium adalah di luar ketentuan AD/ ART Ikatan Notaris Indonesia.

Karena itu, penyelenggaraan UKEN di luar Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) periode 2012-2015, pada 18-19 September 2012 di luar tanggung jawab PP INI karena tidak memenuhi Ketentuan pasal 2 ayat (2) angka 6 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor :M.01-HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, dan Pemberhentian Notaris, yakni harus melampirkan fotokopi sertifikat Kode Etik yang diselenggarakan organisasi notaris (dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia).



Komentar Untuk Berita Ini (1)

  • jamesrudy 16 Juli 2013 | 05:07

    Kami berharap semoga kisruh di tubuh organisasi Ikatan Notaris Indonesia segera bisa terselesaikan dengan baik . Apapun hasilnya nanti Kami tetap mendukung peran para notaris Indonesia dalam pembuatan akta dalam rangka meningkatkan investasi asing di In

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas