Patricia Audrey Ruslijanto


UU ITE Belum Mengakomodasi Perlindungan




Dr. Patricia Audrey Ruslijanto, S.H., M.Kn.
Jurusan Hukum Internasional, Universitas Brawijaya, Malang



A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan globalisasi dan perannya dalam dunia perdagangan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dewasa ini. Kondisi tunggal yang ditawarkan globalisasi juga turut mempengaruhi perkembangan praktik dagang, yang didukung pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi[1], melalui pengembangan perdagangan tanpa tatap muka (faceless trading) dengan dukungan teknologi internet atau interconnected network yang merupakan bagian teknologi komputer melalui sistem perdagangan bertransmisi elektronik, dan lazim dikenal dengan nama kontrak elektronik atau electronic commerce.[2]

Keberadaan kontrak elektronik menawarkan praktek dagang yang praktis dan cepat bagi pihak penjual dan pembeli, serta mampu mempertemukan banyak pihak yang datang dalam wilayah berbeda dalam satu wadah yang bersifat borderless. Namun dalam praktek dagang ini, tetap dimungkinkan tidak terpenuhinya kewajiban atas hak seseorang, dan menghasilkan adanya sengketa, yang diikuti dengan penyelesaian sengketa. Dalam terminologi kontrak elektronik, penyelesaian sengketa ditujukan untuk menyelesaikan sengketa antar satu pihak terhadap pihak lain, dan sebagai pembangun jembatan kepercayaan antara produsen dan konsumen, dimana hal ini menjadi dasar nota kesepahaman penyelenggara praktik kontrak elektronik dalam menyediakan kepercayaan dan keamanan transaksi dagang ini.[3] Regulasi internasional memberikan pengaturan atas model penyelesaian sengketa ini, dalam 1958 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau juga lazim dikenal sebagai New York Convention. Peraturan lain serupa dalam alternatif penyelesaian sengketa, namun lebih dikhususkan pada arbitrase ialah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985 yang diamandemen pada tahun 2006, guna memberikan pengenalan terhadap informasi dan komunikasi elektronik dalam perjanjian arbitrase asing. Indonesia sebagai bagian dari masyakarat internasional, juga turut mengatur praktik kontrak elektronik ini dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik, khususnya dalam keberadaan pasal 18 dengan tujuan dapat menjembatani adanya kesenjangan (gap) antara hambatan teknologi dan memenuhi nilai perlindungan hukum dalam praktik penyelesaian sengketa transaksi elektronik.

Ironisnya dari beberapa kasus-kasus sengketa kontrak elektronik yang terjadi di Indonesia, keberadaan pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini, bukan menjadi upaya yang ditempuh dalam menyelesaikan sengketa yang ada, dan cara-cara penyelesaian sengketa secara konvensional yang kurang tepat sasaran menjadi pilihan. Cara penyelesaian sengketa konvensional ini juga seringkali dihadapkan pada apatisme dan persoalan harga jenis barang yang menjadi objek sengketa dan biaya pengurusan konsultasi hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa yang berbanding terbalik, memicu rendahnya minat konsumen upaya perbaikan hukum.[4] Hal ini menjadi persoalan dimana cara penyelesaian sengketa yang ada akan tidak sejalan dengan sifat dasar kontrak elektronik yang tidak mengenal batas (borderless area), luasnya jangkauan perdagangan kontrak elektronik yang bersifat transnasional, dan ketiadaan tatap muka antar para pihak dalam melakukan kontrak elektronik.

Cara sebagaimana ditawarkan dalam ketentuan pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang meliputi pilihan hukum, penggunaan asas-asas hukum perdata internasional dan jalur litigasi dan non litigasi konvensional dianggap tidak menyelesaikan masalah yang ada, mengingat kerumitan yang harus dihadapi dalam penyelesaian sengketa yang ada, sementara di sisi lain, hal kepraktisan dan kenyamanan menjadi salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh kontrak elektronik itu sendiri. Oleh karenanya, persoalan pengaturan dan penegakan hukum dari penyelesaian sengketa kontrak elektronik perlu diatur dengan keberadaan institusi penyelesaian sengketa kontrak elektronik dalam bentuk elektronik, yang dapat berjalan seiring dengan sifat dari kontrak elektronik yang praktis dan dinamis, sekaligus mampu menangani persoalan kerumitan penyelesaian sengketa di wilayah kontrak elektronik yang beresiko tinggi (high-risk). Oleh karenanya, hal yang menjadi pemikiran dalam tulisan ini ialah menganalisa (1) keberadaan pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dalam kaitannya dengan penerapan perlindungan hukum bagi pelaku kontrak elektronik; dan (2) prospek pengaturan alternatif penyelesaian sengketa online kontrak elektronik yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak.

B. Analisa Perlindungan Hukum dalam Undang-Undang ITE


Perkembangan zaman yang pesat turut mempengaruhi perkembangan hukum yang ada, sebagaimana dalam pemahaman hukum progresif oleh Satjipto Rahardjo memahami bahwa hukum itu sendiri bukan suatu produk final, namun merupakan hal yang terus menerus harus dibangun dan sebagai suatu proses yang harus dijalankan.[5] Demikian pula dengan adanya perkembangan kontrak elektronik, yang merubah pola transaksi bisnis yang selama ini ada dari bentuk transaksi bersifat face to face menjadi bentuk faceless trading.

Adanya pengaturan peraturan hukum yang bersifat stagnan, tanpa diikuti pengaturan hukum yang bersifat dinamis baik dalam tata perilaku kontrak elektronik bahkan model penyelesaian sengketa yang bersifat terbatas, dalam arti tidak bersifat dinamis adalah suatu keniscayaan bagi penegakan hukum dan penerapan perlindungan hukum, yang ditujukan bagi terwujudnya kepastian hukum bagi para pihak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ada karena adanya urgensi pemikiran tentang pentingnya pengaturan praktik kontrak elektronik di Indonesia. Perihal upaya penyelesaian sengketa transaksi elektronik diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menyebutkan :

“(1)Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak;

(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya;

(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional;

(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya;

(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas hukum perdata internasional”

Keberadaan pasal 18 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik diatas, menyebutkan terdapat tiga poin model penyelesaian sengketa transaksi elektronik yang dapat digunakan para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang ada, yaitu : opsi pilihan hukum yang dilakukan para pihak, opsi lembaga litigasi maupun non litigasi dan opsi asas-asas dalam hukum perdata internasional. Oleh karenanya, keberadaan undang undang ini ditujukan untuk menyeimbangkan pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia dengan praktek pengaturan oleh pemerintah, khususnya dalam bidang transaksi elektronik yang ditujukan bagi pemenuhan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Adanya kepastian hukum memiliki keterkaitan dengan perlindungan hukum, sebagaimana perlindungan hukum dimaknai sebagai upaya yang dilakukan hukum dalam menjamin keberadaan hak individu, melalui peran hukum yang bersifat regulatif sekaligus konstruktif[6]. Regulatif dan konstruktif dalam arti, hukum memberikan aturan sekaligus hukum mampu berjalan sejalan dengan perkembangan zaman yang ada, dimana dalam hal ini adalah praktik penyelesaian sengketa kontrak elektronik. Sebagaimana, perlindungan hukum dalam suatu kontrak adalah hal yang mutlak adanya, dan perlindungan yang diberikan ialah ditujukan bagi terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pelaku usaha dan konsumen.

Perlindungan hukum yang diakomodir melalui cara penyelesaian sengketa yang memadai, dalam konteks pelaksanaan kontrak elektronik selain ditujukan memberikan hasil yang dapat memenuhi kepuasan para pihak dalam menyelesaikan sengketa, juga ditujukan untuk menjaga tingkat kepercayaan para pihak dalam melakukan praktik kontrak elektronik.

Ironisnya, keberadaan pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki tiga opsi pengaturan, belum mampu mengakomodasikan perlindungan bagi pelaku kontrak elektronik, dimana dalam pilihan pertama yaitu (1) Pilihan hukum yang dilakukan para pihak, hal ini menjadi kendala tersendiri mengingat bentuk perjanjian dari transaksi elektronik yang lazim berbentuk kontrak baku/ standard contract. Keberadaan kontrak baku dalam pembuatannya diperlukan karena adanya tuntutan penawaran barang dan jasa terhadap konsumen dalam jumlah besar, oleh karenanya efisiensi dan efektivitas dinilai akan tercapai dengan adanya uniform contract[7]. namun disisi lain konsumen juga memiliki persolan sendiri dimana persoalan itu ialah adanya kekuatan daya tawar yang tidak seimbang, sebab dengan adanya kontrak baku hanya akan memberikan kewenangan dalam pembuatan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam klausula kontrak baku oleh pelaku usaha sendiri. Dalam keberadaan transaksi elektronik ini sendiri, bentuk perjanjian dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu shrink wrap contract, click wrap contract dan browse wrap contract. Penggolongan jenis tiga bentuk perjanjian dalam transaksi elektronik ini didasarkan pada pengaturan syarat dan ketentuan dalam produk barang dan jasa yang ditawarkan, sekaligus sebagai pengikat perjanjian antara pihak penjual dan pembeli.

Bentuk shrink wrap contract ini, tidak membebankan kewajiban pada pelaku usaha secara penuh sebagai kompensasi pemenuhan hak terhadap konsumen. Keberadaan shrink wrap contract menggambarkan adanya perbedaan posisi tawar antara pelaku usaha dan konsumen dimana konsumen hanya diberikan pilihan berupa menerima atau menolak pilihan dari adanya shrink wrap contract di atas tanpa adanya pemberian informasi yang lengkap dan jelas mengenai ketentuan yang tercantum dalam bentuk perjanjian tersebut. Bentuk lain dalam perjanjian dalam transaksi elektronik ini ialah click wrap contract, yang merupakan jenis perjanjian dengan menekankan pada persetujuan kosumen yang sekaligus berfungsi sebagai dictate clause, karena adanya ikatan konsumen terhadap bentuk perjanjian tanpa adanya persetujuan dan mengetahui isi perjanjian[8]. Pengaturan yang berbeda dari shrink wrap contract dan click wrap contract diberikan dalam browse wrap contract, dimana dalam jenis pengaturan ini pengakuan terhadap hak konsumen masih terakomodir walaupun tidak bersifat menyeluruh. Keberadaan browse wrap contract mengakomodir kesempatan bagi konsumen untuk mempelajari syarat dan ketentuan sebagaimana ada dalam produk, tanpa memberikan keharusan menyetujui secara langsung syarat dan ketentuan yang ada sebelum benar-benar dilaksanakannya transaksi elektronik oleh pihak konsumen.

Keberadaan shrink wrap contract, click wrap contract dan browse wrap contract menggambarkan adanya jenis perjanjian yang umum ada dalam praktik transaksi elektronik, dimana inti dari perjanjian yang ada bersifat take or leave the contract, dengan opsi pelaksanaan yang berbeda satu dengan yang lain. Berdasarkan jenis-jenis perjanjian ini maka penerapan pilihan hukum yang dilakukan para pihak, manakala terjadi sengketa adalah tidak mungkin dilakukan mengingat sifat dasar dari transaksi elekronik yang secara mayoritas menggunakan jenis kontrak baku.

Model lain yang juga diterapkan dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 (4) juga mendasarkan pada pilihan yang dapat ditempuh para pihak dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi maupun lembaga non litigasi. Keberadaan lembaga litigasi yang juga disebut first and the last resort dalam penyelesaian sengketa, dimana sebagai first and the last resort diharapkan keberadaan lembaga litigasi yaitu pengadilan menjadi tujuan utama pencarian keadilan, yang dapat menghasilkan kepastian hukum dalam menyelesaikan sengketa yang ada.

Peran hakim di pengadilan, maupun lembaga yang bergerak di bidang penyelesaian sengketa kontrak elektronik adalah penting sebagaimana dikemukakan oleh Wendell Holmes dalam pandangan Realismenya yaitu”the prophecies of what the Courts will do in fact and nothing more pretentious are what I mean by law”. Keberadaan pedoman putusan hakim ini juga dipandang dapat memberikan pembaruan atas hukum yang ada, termasuk manakala belum ada peraturan hukum yang secara spesifik mengatur tentang hal yang ada.Namun demikian dalam model penyelesaian sengketa jalur litigasi ini belum dapat mengakomodasi efektivitas dan efisiensi dalam proses penyelesaian sengketa, karena lambatnya proses penyelesaian sengketa, biaya yang mahal khususnya dalam sengketa transaksi perdagangan. Namun demikian hukum tetap memiliki kewajiban dalam mengakomodasikan terpenuhinya perlindungan hukum, sebagai bentuk dari tanggung jawab hukum terhadap hak subjek hukum, dimana dalam hal ini ialah para pelaku kontrak elektronik dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik. Oleh karenanya, karena terdapat keprihatinan atas persoalan yang dihadapi oleh lembaga litigasi, melatar belakangi adanya lembaga non litigasi alternatif penyelesaian sengketa, yang menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat dimana bentuk dan macamnya bervariasi baik secara musyawarah, perdamaian, penyelesaian adat dan cara-cara lain yang disesuaikan dengan wilayah masyarakat tersebut berada.[9]Adanya model alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi, baik melalui cara negosiasi, konsiliasi maupun mediasi dapat digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, termasuk juga sengketa kontrak bisnis, karena adanya tingkat kemudahan dan kepraktisan yang dapat diberikan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang ada. Namun demikian ketika hal ini dihadapkan pada penyelesaian sengketa kontrak elektronik, keberadaan metode-metode ini tidak cukup untuk mengakomodasikan nilai perlindungan hukum yang ada. Hal ini, disebabkan adanya sifat non tatap muka (faceless ) dari para pihak, serta sifat perdagangan yang bersifat tanpa batas wilayah negara, dan dalam hal ini posisi subjek hukum yang lebih didominasi oleh pihak penjual, membuat pihak konsumen berada dalam posisi tawar yang lebih rendah, dan hal ini membuat tidak berjalannya tujuan dari perlindungan hukum dalam mewujudkan nilai keadilan yang menjadi salah satu bentuk dari tujuan hukum.

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juga memberikan pilihan mengenai penggunaan asas-asas hukum perdata internasional dalam pilihan menyelesaikan sengketa kontrak elektronik. Adanya asas-asas hukum perdata internasional yang didasarkan pada kebebasan berkontrak para pihak (party autonomy), menjadi dasar para pihak pelaku kontrak dalam menentukan pilihan hukum (choice of law) dan (choice of forum), dan ketika pilihan hukum atau pilihan forum tidak digunakan, maka dapat digunakan prinsip hukum yang seharusnya diberlakukan (the proper law of contract). Namun keberadaan asas-asas hukum perdata internasional ini manakala diterapkan dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik akan menimbulkan persolan tersendiri, karena dihadapkan pada sifat sifat non tatap muka (faceless ) dari para pihak, serta sifat perdagangan yang bersifat tanpa batas wilayah negara, jika tanpa didukung oleh pengembangan dari teori-teori yang dapat mendukung pengaturan kewenangan di internet, sebab keberadaan asas-asas perdata internasional ini tanpa adanya pengaturan tambahan tentang teori yang dapat mendukung pengaturan kewenangan di internet, akan membawa resiko bagi terpenuhinya kepastian hukum yang ditawarkan bagi para pihak pelaku kontrak elektronik, khususnya dalam model penyelesaian sengketa kontrak elektronik.

Penerapan opsi pilihan hukum para pihak, bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak (dalam tatanan konvensional) dan penggunaan asas-asas hukum perdata internasional sebagaimana ada dalam pengaturan pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ditujukan dalam penegakan keadilan manakala terjadi sengketa kontrak elektronik dengan membandingkan praktik pelaksanaan sebagaimana terjadi di Indonesia, menunjukkan belum adanya jaminan yang diberikan negara atas perlindungan hukum pelaku kontrak elektronik di Indonesia sekaligus pengaturan hukum yang ada belum dapat menunjang optimalnya penegakan hukum yang membawa kepastian hukum khususnya bagi pihak konsumen pengguna jasa transaksi elektronik.

Oleh karenanya perlu dilakukan adanya pembentukan model penyelesaian sengketa kontrak elektronik, dimana dalam hal ini ialah perlunya pengaturan tentang model penyelesaian sengketa yang dilakukan secara elektronik atau lazim juga disebut sebagai penyelesaian sengketa online (online dispute resolution) yang bersesuaian dengan sifat dari kontrak elektronik sendiri, dan ditujukan guna mewujudkan kepastian hukum bagi para pihak pelaku kontrak elektronik.


C. Prospek Pengaturan Alternatif Penyelesaian Sengketa Online

Penyelesaian sengketa online (online dispute resolution) didefinisikan sebagai “alternative dispute resolution processes connected with the assistance of information technology, particularly the internet[10]”, sebagaimana didefinisikan merupakan penyelesaian sengketa dengan bantuan teknologi internet, dan sebagaimana dalam keberadaannya jenis penyelesaian sengketa online ini dapat dibagi menjadi bentuk negosiasi online, mediasi online dan arbitrase online.

Urgensi adanya pengaturan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution) dalam menyelesaikan sengketa kontrak elektronik, didasarkan pada beberapa prinsip yang menjadi ciri pembeda online dispute resolution dari alternatif penyelesaian sengketa konvensional, dalam arti yang dilakukan tanpa bantuan dari media elektronik, yaitu adanya : 1) Transparansi, yang dimaksud dalam hal ini adalah transparansi yang didapat oleh para pihak mengenai tata cara pelaksanaan penyelesaian sengketa dan hasil dari penyelesaian sengketa secara terbuka; 2) Aksesibilitas, yang dimaksud dalam hal ini ialah ketiadaan rintangan biaya, dan dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)memungkinkan para pihak pelaksana kontrak elektronik mengakses penyelesaian sengketa kontrak elektronik tanpa hambatan ruang dan waktu; 3) Independensi, yang dimaksud dalam hal ini ialah terjaganya independensi para pihak sebagai pengambil keputusan hasil penyelesaian sengketa kontrak elektronik; 4) Kepraktisan, yang dimaksud dalam hal ini ialah kepraktisan penyelesaian online dalam menyelesaikan sengketa dan waktu penyelesaian yang lebih cepat dibandingkan proses pengadilan tradisional.[11]

Optimalisasi penerapan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)akan dapat dilaksanakan dengan baik manakala ada perimbangan aspek-aspek dalam pelaksanaan online dispute resolution, yaitu aspek sosial, aspek hukum dan aspek teknologi.

Aspek sosial dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)berkaitan dengan nilai manfaat yang merupakan salah satu tujuan hukum, selain adanya kepastian hukum dan keadilan yang memiliki ikatan satu sama lain. Nilai manfaat dari penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)ini, juga memiliki korelasi dengan sifat dasar dari kontrak elektronik, yang bersifat efisien manakala dielaborasikan dengan pemikiran Richard Posner[12] dengan memaknai peraturan hukum dan dalam hal ini mekanisme penyelesaian sengketa kontrak elektronik ialah penerapan aturan hukum merupakan kontrak yang ditujukan bagi kesejahteraan social masyarakat. Kesejahteraan sosial masyarakat ini akan tercipta melalui peran lembaga peradilan, dimana dalam hal ini lembaga penyelesaian sengketa online dapat berperan, melalui penafisran perjanjian pihak yang berkepentingan satu sama lain dalam bentuk kontrak elektronik dan peran penyediaan layanan dalam penyelesaiann sengketa yang ada dalam tujuan peningkatan efisiensi ekonomi.[13]

Aspek sosial dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)meliputi adanya kewaspadaan, kepercayaan dan nilai transparansi yang bisa didapatkan oleh para pihak.

Pemenuhan kepercayaan dalam penggunaan jasa penyelesaian sengketa online (online dispute resolution), bukan persoalan yang mudah untuk didapatkan, manakala kehadiran para pihak tidak dipersyaratkan dan adanya sifat lintas batas negara masing masing pihak pelaksanaan online dispute, oleh karenanya cara meningkatkan kepercayaan penggunaan online dispute resolution dapat dilakukan dengan pemaparan proses dari jalannya penyelesaian sengketa, penggunaan trustmark sebagai lembaga segel pengaman pelaksanaan perjanjian dan adanya mekanisme feedback guna mengetahui keberhasilan penyelesaian sengketa.[14]

Aspek hukum dalam pelaksanaan online dispute resolution meliputi adanya kerjasama peran aparat hukum dan pembentukan peraturan hukum yang dapat mengenal dan mengakui keberlakuan penerapan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution), sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia.

Peran aparat penegak hukum diperlukan dalam mengatur dan menyampaikan informasi peraturan hukum yang ada dengan keberlakuan teknologi dalam penerapan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution), dalam memberikan pemahaman hukum pada para pihak yang mungkin menjadi kendala bagi pihak ketiga netral dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)[15] .

Adanya peran penegak hukum dan pemerintah tidak akan sempurna tanpa adanya pengaturan peraturan hukum yang memadai, dalam pengenalan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution) sebagai metode dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik. Prospek penerapan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)dalam tatanan hukum Indonesia dimungkinkan, sebab hal ini tidak menciderai penerapan pengaturan tentang perjanjian dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, tidak membatasi bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak, oleh karenanya dimungkinkan adanya perjanjian dalam bentuk kontrak elektronik, sepanjang ada kesepakatan yang dibuat para pihak dan tidak melanggar prinsip ketertiban umum.

Berkaitan dengan adanya pengaturan peraturan hukum dalam pelaksanaan online dispute resolution, keberadaan mekanisme ganti rugi yang mengikuti pola tanggung jawab atas sengketa yang terjadi, sebagaimana difasilitasi oleh online dispute resolution adalah penting. Adanya pengaturan mekanisme ganti rugi sebagaimana telah diatur dan dapat dijadikan pedoman pelaksanaan oleh Indonesia, telah diatur baik secara regional melalui peran ASEAN dalam pembentukan The ASEAN Coordinating Committee on Consumer Protection (ACCCP), The Southeast Asian Consumer Protection Agencies Network (SEA-CPAN) dan The Southeast Asian Consumer Council (SEA-CC). Ditambah dengan adanya penerapan praktik negara-negara baik negara Uni Eropa maupun praktik pelaksanaan di Singapura dapat menjadi pokok pemikiran dalam metode ganti rugi.

Adanya peran lembaga nasional Indonesia dalam metode penyelesaian sengketa dan pengembangan teknologi trustmark dapat melandasi terpenuhinya perlindungan hukum bagi para pihak.

Peran ini dapat didukung melalui adanya penerapan lembaga Case Trust yang berwenang menerbitkan logo kepercayaan (trust mark), guna memberikan perlindungan hukum pada konsumen yang berbelanja online sekaligus sebagai mediator jika konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha yang terdaftar sebagai anggota Case Trust.[16]Pelaksanaan sertifikasi CaseTrust dalam pemenuhan Internet Code of Practice digunakan sebagai pertimbangan pokok yang mendasari pemberian sertifikasi pada pelaku usaha, dengan imbal balik kepercayaan yang tinggi dari konsumen.

Aspek teknologi dalam keberlakukan online dispute resolution juga memegang peran penting, dimana teknologi berkaitan dengan peran keamanan dalam pelaksanaan online dispute resolution. Adanya peran dari penggunaan metode keamanan Hyper Text Transfer Protocol (http) ditambah Secure Socket Layer (SSL) yang mengindikasikan adanya website yang terproteksi dengan logo kunci di bagian layar pengguna, dan hal ini dapat dikombinasikan dengan penggunaan sistem enkripsi tanda tangan elektronik melalui penggunaan public key yang dipegang oleh klien dan server, serta penggunaan private key yang dipegang secara eksklusif oleh klien menunjukkan adanya metode keamanan yang dapat digunakan dalam online dispute resolution.

Prospek pengembangan penyelesaian sengketa online (online dispute resolution)di Indonesia, dengan memperhatikan perbandingan praktik negara-negara yang ada meliputi Amerika Serikat, Uni Eropa dan Singapura serta dengan mempertimbangkan adanya pendekatan sosial, pendekatan teknologi serta pendekatan hukum, dapat menggunakan model penggabungan dari Electronic Consumer Dispute Resolution dan TrustSG CaseTrust, dengan penggambaran bagan model sebagai berikut :

FAKTOR

INDONESIA

NAMA PRODUK

IndoComTrust

CARA KERJA

Dapat menempuh cara negosiasi online dan mediasi online

DASAR HUKUM

Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

METODE

Menggunakan teknologi pengaman dengan secure socket layer dan kombinasi digital certificate

MEKANISME GANTI RUGI

Melalui sistem small claims procedure dan general court

Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan jembatan pengatur pelaksanaan kontrak elektronik di Indonesia, sebagaimana hal ini dilengkapi melalui adanya model pengaturan tambahan model penyelesaian sengketa dalam bentuk penyelesaian sengketa online (online dispute resolution), serta kombinasi pengaturan di dengan negara pembanding Eropa dan Singapura, sebagaimana model kerangka digambarkan diatas, yang ditujukan bagi pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa kontrak elektronik yang berkeadilan, dan dapat mewujudkan kepastian hukum bagi para pihak pelaku kontrak elektronik.

Sehubungan adanya kesulitan teknis maka sebagian data daftar pustaka dan catatan kaki tidak bisa muncul di web. Semua data tersebut tersimpan di data base redaksi. Untuk itu kami mohon maaf, dan terimakasih atas perhatiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

A. Sony Keraf, 2005, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta

Abdul Halim Barakatullah. 2010. Sengketa Transaksi E-Commerce Internasional. Nusa Media. Bandung.

Abdul Kadir Muhammad. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung

Abdurrahman, 2007, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-undangan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Abdurrahman, Raden Aji Haqqi. 1999. The Philosophy of Islamic Law of Transactions Univision Press, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur

A.F.Elly Erawaty. 2003. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar. Dalam Ida Susanti & Bayu Seto. Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Agnes M Toar, 1996, Uraian Singkat tentang Arbitrase Dagang di Indonesia, artikel dalam Arbitrase diIndonesia, Ghalia, Jakarta

Agus Yudha Hernoko, 2010. Hukum Perjanjian-Asas Proporsional dalam Transaksi Komersial. Citra Aditya Bakti. Bandung

Ahmad Ali, 2008, Menyibak Tabir Hukum, Bojongkerta, Ciawi-Bogor Selatan, Ghalia Indonesia, Edisi II.

Andre Ata, Ulan, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Yogyakarta, Kanisius. &l



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas